Siapakah yang diperbolehkan melakukan Tayammum?
1. Tayammum diperbolehkan bagi seorang yang junub lagi musafir dan tidak mendapatkan air.“Jika kalian adalah keadaan sakit, atau dalam keadaan bepergian, atau seseorang dari kalian dari buang hajat atau kalian berhubungan dengan wanita, dan kalian tidak mendapatkan air maka tayammumlah dengan tanah yang baik.”
Dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 347) dan Muslim (1/280) dari hadits ‘Ammar bin Yasir, beliau mengatakan, “Rasulullah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu saya junub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling sebagaimana tunggangan berguling, kemudian saya menjumpai Nabi dan menceritakn kepada beliau hal itu. Beliau bersabda,
“إنما يكفيك أن تقول بيديك هكذا.” ثم ضرب بيديه الأرض ضربة واحدة ثم مسح الشمال على اليمين وظاهر كفيه ووجهه.
“Cukuplah engkau melakukan dengan kedua tanganmu seperti
ini.” Lalu beliau memukulkan kedua tangan beliau ketanah dengan sekali
tepukan kemudian membasuhkan tangan kiri ke tangan kanan dan dan kedua
punggung tangan beliau dan wajah beliau.”2. Tayammum bagi seorang junub apabila khawatir udara dingin.
Berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala diatas. Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya dari hadits Amru bin al-’Ash, bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzaat as-Salaasil, beliau berkata, “Hingga saya ihtilam pada malam yang sangat dingin. Dan saya khawatir jikalau saya mandi maka saya akan binasa. Maka saya pun –hanya- melakukan tayammum kemudian mengimami para sahabatku pada shalat subuh. Dan ketika kami tiba kembali menemui Rasulullah , mereka menceritakan hal itu kepada beliau . Dan beliau bersabda, “Wahai Amru, engkau telah mengerjakan shalat mengimami sahabatmu sementara engkau dalam keadaan junub?”
Saya berkata, “Saya teringat dengan firman Allah ta,ala
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah sangatlah penyayang bagi kalian.”
Maka saya melakukan tayammum kemudian mengerjakan shalat.” Rasulullah kemudian tertawa dan tidak mengatakan sesuatu.”
(HR. Ahmad didalam al-Musnad 4/203, Abu Dawud no. 334-335, al-Hakim 1/177 dan selain mereka)
Hadits ini dijadikan dasar oleh Malik, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Ibnul-Mundzir bahwa seseorang yang melakukan tayammum karena udara yang sangat dingin, tidak diharuskan untuk mengulangi shalat. Karena Nabi tidaklah menyuruh beliau untuk mengulanginya. Seandainya wajib, niscaya beliau akan menyuruh mengulangi shalat.
Ibnu Raslaan mengatakan, “Tayammum karena takut udara dingin tidak diperbolehkan bagi seseorang yang memungkinkan untuk memanaskan air atau dapat mempergunakan air dengan cara yang menimbulkan mudharat baginya semisal membasuh anggota wudhu` kemudian menutupinya. Setiap kali selesai membasuh anggota wudhu` dia lalu menutup dan menghalanginya dari udara dingin, maka hal itu –wudhu`- suatu keharusan baginya. Jika dia tidak mampu dia diperbolehkan tayammum dan mengerjakan shalat pada pendapat sebagian besar ulama.”
Dan inilah pendapat yang shahih sesuai dengan keterangan dalil diatas.
Adapun al-Hasan al-Bashri dan Atha`, berpendapat tidak adanya udzur untuk tayammum bagi yang khawatir udara dingin. Dia tetap diharuskan mandi walau dia akhirnya meninggal dunia. Namun pendapat ini tertolak dengan keterangan pada hadits Amru bin al-’Ash.
3. Seorang yang dalam keadaan sakit tidak mampu mempergunakan air.
Sakit/penyakit terbagi atas tiga bagian:
Pertama: Penyakit yang ringan tidak dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya, atau sakit yang membahayakan, memperlambat kesembuhannya, menambah rasa sakit atau suatu yang buruk jika orang tersebut mempergunakan air. Semisal penyakit pusing, sakit gigi dan semisalnya. Penyakit/sakit semacam ini tidak diperbolehkan tayammum baginya menurut pendapat sebagian besar ulama.
Kedua: Sakit/penyakit yang dengan penggunaan air akan dikhawatirkan mendatangkan kebinasaan pada dirinya, anggota tubuhnya, mendatangkan penyakit yang membahayakan jiwanya.
Ketiga: Penyakit/sakit yang dengan penggunaan air akan memperlambat kesembuhannya atau menambah parah sakitnya. Pada dua keadaan pada sakit/penyakit ini diperbolehkan untuk tayammum dan tidak perlu mengulangi shalat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Dawud dan sebagian besar ulama. Berdasarkan keumuman firman Allah,
“Jika kalian adalah keadaan sakit, atau dalam keadaan bepergian, atau seseorang dari kalian dari buang hajat atau kalian berhubungan dengan wanita, dan kalian tidak mendapatkan air maka tayammumlah dengan tanah yang baik.”
Juga berdasarkan dengan hadits Amru bin al-’Ash sebelumnya.
Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau menafsirkan firman Allah ta’ala diatas,
“Yaitu seseorang yang mendapatkan luka ketika fi sabilillah, atau borok, atau penyakit cacar air, lalu dia junub dan takut jika dia manti maka dia akan meninggal dunia, dia dapat tayammum dengan tanah yang baik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi.
Asy-Syaukani mengatakan, “Apabila penggunaan air akan mendatangkan penyakit berbahaya bagi seorang yang berwudhu`, hal itu menjadi alasan baginya untuk tidak mempergunakan air dan beralih ke tayammum.”
Pendapat ini adalah pendapat Mujahid, Ikrimah, Thawus, Qatadah, hammad bin Abu Sulaiman, Ibrahim, Malik, asy-Syafi’i, ashhaab ar-Ra`yi, Ahmad, Ishaq dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani dan asy-Syaikh Ibnul Utsaimin. Dan inilah pendapat yang shahih.
Adapun pendapat Atha` bin Abi Rabah dan al-Hasan al-Bashri yang mengharuskan pemakaian air bagi seorang yang sakit semacam ini jika mendapatkan air bukanlah pendapat yang tepat.
4. Musafir yang memiliki sedikit air dan khawatir kehausan dalam perjalanannya, diperbolehkan untuk tayammum
Jika seorang musafir khawatir kehausan dan dia membawa air yang hanya mencukupi untuk dipergunakan thaharah, maka musafir tersebut menyimpan airnya untuk dipergunaka minum dan dia mencukupkan dengan tayammum disetiap shalatnya.
Ibnul Mundzir mengutip bahwa ulama sepakat dalam hal ini. Dan pendapat tersebut telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, al-Hasan, Mujahid,Atha`, Thawus, Qatadah, adh-Dhahhak, ats-Tsauri, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ashhabur-Ra`yi.
5. Seorang junub lagi musafir yang tidak mendapatkan air kecuali yang hanya cukup dipergunakan untuk berwudhu`.
Adapun jikalau seseorang dalam keadaan safar/bepergian dan unub sementara dia tidak memiliki air selain kadar yang memungkinkan untuk berwudhu`, imam Ahmad berpendapat bahwa dia membasuh kemaluannya dengan air tersebut serta bagian yang terkena janabah. Selanjutnya dia melakukan tayammum dengan tanah yang baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Atha`, al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik dan Abdul Azis bin Abu Salamah. Dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.
Tanah yang dipergunakan untuk Tayammum
Allah subhanahu wata’ala berfirman,“Dan kalian tidak mendapatkan air, maka carilah tanah yang baik.”
Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits ‘Imran bin Hushain bahwa Nabi bersabda,
عليك بالصعيد الطيب فإنه يكقيك
“Engkau pergunakanlah tanah yang baik, karena tanah tersebut sudah mencukupimu.”
Dan hadits Abu Dzar, Nabi bersabda, “Tanah yang baik adalah wadhu` seorang muslim walau dia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Apabila dia telah mendapatkan air maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan mengusap kulitnya, karena hal itu lebih baik.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daraquthni, Ahmad dan selain mereka. Hadist ini dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani didalam al-Irwa` no. 153.
Niat pada Tayammum
Telah shahih diriwayatkan dari hadits Umar bin al-Khaththab dari Nabi , bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya tiap amalan berdasarkan pada niatnya.” Muttafaq a’laihi.Mayoritas ulama berpendapat bahwa tayammum tidak sah selain diiringan dengan niat, berdasarkan hadits diatas. Sementara al-Auza’i dan al-Hasan bin Shalih berpendapat sahnya tayammum walau tanpa niat.
Pendapat yang shahih adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa tayammum tidaklah sah kecuali disertai dengan niat.
Tata Cara Tayammum
Adapun tata cara tayammum, adalah sebagai berikut:1. Membaca Basmalah
Sebagaimana halnya dalam wudhu`. Dikarenakan tayammum adalah pengganti thaharah wudhu`, dan pengganti menyadur hukum yang digantikannya.
Berdasarkan hadits Ammar bin Yasir diatas, dimana Nabi bersabda kepadanya –tentang tata cara tayammum-,
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Cukuplah bagimu untuk melakukan dengan kedua tanganmu demikian. Kemudian beliau menepukkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali tepukan, lal mengusapkan tangan kiri pada tangan kanan, kedua punggung tangan dan wajah beliau.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tepukan tangan ke tanah ketika melakukan tayammum hanya dengan sekali tepukan, sebagaimana pada hadits Ammar diatas.
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Bahwa sebagian besar atsar-atsar yang diriwayatkan dari Ammar menyebutkan sekali tepukan. Adapun atsar yang diriwayatkan dari beliau yangmenyebutkan dua kali tepukan kesemuanya mudhtharib…”
Dan hadits Abdullah bin Umar secara marfu’, “Tayammum dengan dua kali tepukan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan hingga bagian siku.” Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, al-Hakim dan al-Baihaqi, namun hadits ini sangat lemah, pada sanadnya terdapat Ali bin Zhabyaan, dia perawi yang matruk.
Demikian juga hadits Ibnu Umar lainnya yang mneyebutkan tiga kali tepukan pada tayammum adalah hadits yang sangat lemah. Wallahu a’lam.
3. Meniup kedua telapak tangan sebelum membasuhkannya ke anggota tayammum.
Berdasarkan hadits Ammar bin Yasir, dalam salah satu riwayatnya pada Shahih al-Bukhari, dimana disebutkan, “… Lalu Nabi menepukkan kedua telapak tangan beliau pada tanah kemudian meniupnya, lalu mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangan beliau.” (Shahih al-Bukhari no. 338 dan juga no. 339)
4. Mengusap wajah dan kedua tangan hingga pergelangan.
Allah subhanahu berfirman,
“Dan usaplah wajah dan tangan-tangan kalian.” (al-Maidah: 6)
Juga berdasarkan hadits Ammar bin Yasir diatas.
Mencukupkan tayammum pada wajah dan kedua tangan hingga pergelangan merupakan pendapat Atha`, Sa’id bin al-Musayyab, an-Nakha’i, Makhul, al-Auza’i, Ahmad, Ishaq dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir dan juga sebagian besar ulama hadits.
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan adanya mengusap tangan hingga ke bagian siku, tidak satupun hadits tersebut yang shahih. Bahkan sebagian besarnya adalah hadits-hadits yang sangat lemah. Seperti disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr didalam kitab beliau at-Tamhid dan juga asy-Syaukani didalam Nail al-Authar.
5. Tertib dalam tayammum, yaitu dimulai dengan mengusap wajah lalu kedua tangan.
Berdasarkan konteks firman Allah ta’ala,
“Basuhlah wajah dan tangan-tangan kalian.” (al-Maidah: 6)
6. Dikerjakan secara beriringan (al-muwalaah)
Untuk lebih lanjut lihat didalam: al-Umm 1/41-44, al-Majmu’ 2/238 dan selanjutnya, Fathul Bari 1/559-593, al-Mughni 1/318-368, al-Muhalla 1/no. 224-253, at-Tamhid 2/237 dan selanjutnya, Bidayah al-Mujtahid 2/3-50 , Badai’ ash-Shana’i 1/178-191, al-Isyraf 1/255-, al-Ausath 2/11-73, Masaa`il Abdullah bin al-Imam Ahmad 36-39, Kasysyaf al-Qina` 1/237-254, al-Uddah hal. 39-42, Subul as-Salam 1/204-217, as-Sail al-Jarrar 1/308-334, Nail al-Authar 2/410-443, asy-Syarh al-Mumti` 1/373-413.