Media (bentuk jamak dari kata medium), merupakan kata yang berasal dari bahasa latin
medius,
yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’
(Arsyad, 2002; Sadiman, dkk., 1990). Oleh karena itu, media dapat
diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke
penerima pesan. Media dapat berupa sesuatu bahan
(software) dan/atau alat
(hardware).
Sedangkan menurut Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2002), bahwa media
jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh
pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini,
guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi
seorang siswa merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan
yang disampaikan oleh Gagne (1985), yang menyatakan bahwa media
merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat
merangsang untuk belajar.
Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication
Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala
bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan
informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai
medium (Gagne,
et al., 1988) atau
mediator,
yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam
proses belajar -siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula
mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem pengajaran,
mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat
disebut sebagai media. Heinich,
et.al., (1993) memberikan
istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di
atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan
penerima.
Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media
komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah
media pendidikan (pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik
(1994) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi,
hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil
yang maksimal. Batasan media seperti ini juga dikemukakan oleh Reiser
dan Gagne (dalam Criticos, 1996; Gagne,
et al., 1988), yang
secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang
digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran. Dalam pengertian
ini, buku/modul, tape recorder, kaset, video recorder, camera video,
televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan komputer adalah
merupakan media pembelajaran. Menurut National Education Association
-NEA (dalam Sadiman, dkk., 1990), media adalah bentuk-bentuk komunikasi
baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya.
Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas,
maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
menyangkut
software dan
hardware yang dapat digunakan
untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar
(individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar
(di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Posisi Media Pembelajaran
Bruner (1966) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti:
enactive (pengalaman langsung),
iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan
symbolic
(pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta
perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi
antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya
melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk
memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman
langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung
mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua,
iconic,
pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau
rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa
memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan
pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses belajar mengajar sebaiknya
diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat
indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk
menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar
kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan
dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang
disajikan dapat diterima dengan mudah (atau pembelajaran berhasil dengan
baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat
diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal
ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan
(pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang
efektif.
Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti apa yang dimaksud
pada pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan
memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu
alat bantu mengajar bagi guru
(teaching aids). Misalnya
alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap,
memproses, dan menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai
alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman
kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar
siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan sering digunakan adalah alat
bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alat-alat
visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang
yang membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya,
pengembangan pembelajarannya, dan evaluasinya.
Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi
komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki
posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat
bantu. Media pembelajaran memainkan peran yang cukup penting untuk
mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam
posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan
apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu
dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan
kehadiran media pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai
satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada
saat ini media telah diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar
yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.
I WANNA BE A LECTURER..
THAT IS MY DREAM...
jika ada saran dan kritik mengenai tulisan saya:
silahkan kirim pesan ke:
ikpj_biology@yahoo.com
Jika berkenan untuk menjadi sahabat saya, bisa add saya di fb dengan nama account
'Ketut Juliantara'
Terima Kasih ^_^
Media Pembelajaran: Arti, Posisi, Fungsi, Klasifikasi, dan Karakteristiknya
OPINI | 18 December 2009 | 15:43
50083
5
Nihil
Dalam tahun-tahun belakangan ini telah
terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran ke arah paradigma
konstruktivisme. Menurut pandangan ini bahwa pengetahuan tidak begitu
saja bisa ditransfer oleh guru ke pikiran siswa, tetapi pengetahuan
tersebut dikonstruksi di dalam pikiran siswa itu sendiri. Guru bukanlah
satu-satunya sumber belajar bagi siswa
(teacher centered), tetapi yang lebih diharapkan adalah bahwa pembelajaran berpusat pada siswa
(student centered).
Dalam kondisi seperti ini, guru atau pengajar lebih banyak berfungsi
sebagai fasilitator pembelajaran. Jadi, siswa atau pebelajar sebaiknya
secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar, berupa lingkungan.
Lingkungan yang dimaksud (menurut Arsyad, 2002) adalah guru itu sendiri,
siswa lain, kepala sekolah, petugas perpustakaan, bahan atau materi
ajar (berupa buku, modul, selebaran, majalah, rekaman video, atau audio,
dan yang sejenis), dan berbagai sumber belajar serta fasilitas (OHP,
perekam pita audio dan video, radio, televisi, komputer, perpustakaan,
laboratorium, pusat-pusat sumber belajar, termasuk alam sekitar).
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka proses belajar
mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi, yaitu proses
penyampaian pesan (isi atau materi ajar) dari sumber pesan melalui
saluran/media tertentu ke penerima pesan (siswa/pebelajar atau mungkin
juga guru). Penyampaian pesan ini bisa dilakukan melalui simbul-simbul
komunikasi berupa simbul-simbul verbal dan non-verbal atau visual, yang
selanjutya ditafsirkan oleh penerima pesan (Criticos, 1996). Adakalanya
proses penafsiran tersebut berhasil dan terkadang mengalami kegagalan.
Kegagalan ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya adanya
hambatan psikologis (yang menyangkut minat, sikap, kepercayaan, inteligensi, dan pengetahuan),
hambatan fisik
berupa kelelahan, keterbatasan daya alat indera, dan kondisi kesehatan
penerima pesan. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
hambatan kultural (berupa perbedaan adat istiadat, norma-norma sosial, kepercayaan dan nilai-nilai panutan), dan
hambatan lingkungan yaitu hambatan yang ditimbulkan oleh situasi dan kondisi keadaan sekitar (Sadiman, dkk., 1990).
Untuk mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang terjadi selama proses
penafsiran dan agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, maka
sedapat mungkin dalam penyampaian pesan (isi/materi ajar) dibantu
dengan menggunakan media pembelajaran. Diharapkan dengan pemanfaatan
sumber belajar berupa media pembelajaran, proses komunikasi dalam
kegiatan belajar mengajar berlangsung lebih efektif (Gagne, 1985) dan
efisien.
Perkembangan ilmu dan teknologi semakin mendorong usaha-usaha ke arah
pembaharuan dalam memanfaatkan hasil-hasil teknologi dalam pelaksanaan
pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya, guru (pengajar) diharapkan
dapat menggunakan alat atau bahan pendukung proses pembelajaran, dari
alat yang sederhana sampai alat yang canggih (sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan jaman). Bahkan mungkin lebih dari itu, guru diharapkan
mampu mengembangkan keterampilan membuat media pembelajarannya sendiri.
Oleh karena itu, guru (pengajar) harus memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran, yang meliputi (Hamalik,
1994): (i) media sebagai alat komunikasi agar lebih mengefektifkan
proses belajar mengajar; (ii) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan; (iii) hubugan antara metode mengajar dengan media yang
digunakan; (iv) nilai atau manfaat media dalam pengajaran; (v) pemilihan
dan penggunaan media pembelajaran; (vi) berbagai jenis alat dan teknik
media pembelajaran; dan (vii) usaha inovasi dalam pengadaan media
pembelajaran.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka media
adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari proses
pembelajaran, terutama untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.
Oleh karena itu, lebih jauh perlu dibahas tentang arti, posisi, fungsi,
klasifikasi, dan karakteristik beberapa jenis media, untuk mendapatkan
gambaran dan pemahaman sebelum menggunakan atau mungkin memproduksi
media pembelajaran.
ARTI, POSISI DAN FUNGSI MEDIA PEMBELAJARAN
Pengertian Media Pembelajaran
Media (bentuk jamak dari kata medium), merupakan kata yang berasal dari bahasa latin
medius,
yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’
(Arsyad, 2002; Sadiman, dkk., 1990). Oleh karena itu, media dapat
diartikan sebagai perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke
penerima pesan. Media dapat berupa sesuatu bahan
(software) dan/atau alat
(hardware).
Sedangkan menurut Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2002), bahwa media
jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh
pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini,
guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi
seorang siswa merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan
yang disampaikan oleh Gagne (1985), yang menyatakan bahwa media
merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat
merangsang untuk belajar.
Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication
Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala
bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan
informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai
medium (Gagne,
et al., 1988) atau
mediator,
yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam
proses belajar -siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula
mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem pengajaran,
mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat
disebut sebagai media. Heinich,
et.al., (1993) memberikan
istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di
atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan
penerima.
Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media
komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah
media pendidikan (pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik
(1994) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi,
hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil
yang maksimal. Batasan media seperti ini juga dikemukakan oleh Reiser
dan Gagne (dalam Criticos, 1996; Gagne,
et al., 1988), yang
secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang
digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran. Dalam pengertian
ini, buku/modul, tape recorder, kaset, video recorder, camera video,
televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan komputer adalah
merupakan media pembelajaran. Menurut National Education Association
-NEA (dalam Sadiman, dkk., 1990), media adalah bentuk-bentuk komunikasi
baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya.
Berdasarkan batasan-batasan mengenai media seperti tersebut di atas,
maka dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
menyangkut
software dan
hardware yang dapat digunakan
untuk meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar
(individu atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar
(di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif.
Posisi Media Pembelajaran
Bruner (1966) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti:
enactive (pengalaman langsung),
iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan
symbolic
(pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta
perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi
antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya
melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk
memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman
langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung
mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua,
iconic,
pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau
rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa
memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan
pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses belajar mengajar sebaiknya
diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat
indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk
menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar
kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan
dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang
disajikan dapat diterima dengan mudah (atau pembelajaran berhasil dengan
baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat
diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal
ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan
(pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang
efektif.
Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti apa yang dimaksud
pada pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan
memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu
alat bantu mengajar bagi guru
(teaching aids). Misalnya
alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap,
memproses, dan menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai
alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman
kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar
siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan sering digunakan adalah alat
bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alat-alat
visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang
yang membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya,
pengembangan pembelajarannya, dan evaluasinya.
Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi
komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki
posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat
bantu. Media pembelajaran memainkan peran yang cukup penting untuk
mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam
posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan
apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu
dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan
kehadiran media pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai
satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada
saat ini media telah diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar
yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.
Hasil
belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret)
berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui
benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal
(abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media pembelajaran
sangat bermanfaat. Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan
dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu,
memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat
keabstrakan pengalaman yang dihadapi pebelajar. Kenyataan ini didukung
oleh landasan teori penggunaan media yang dikemukakan oleh Edgar Dale,
yaitu teori Kerucut Pengalaman Dale
(Dale’s Cone of Experience) seperti
Gambar 1 di bawah. Teori ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep
tiga tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner.
Fungsi Media Pembelajaran
Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi
oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya
saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh
terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada
kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran.
Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan
media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pebelajar, dan tugas
atau respon yang diharapkan dari pebelajar (Arsyad, 2002). Sedangkan
menurut Criticos (1996), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi
ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi
dan produksi media. Dengan demikian, penataan pembelajaran (iklim,
kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar
dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.
Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan
minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan
bahkan berpengaruh secara psikologis kepada siswa (Hamalik, 1986).
Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat
membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi
(pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam
pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman siswa,
penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan
penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan
bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar
mengajar.
Sadiman, dkk (1990) menyampaikan fungsi media (media pendidikan) secara
umum, adalah sebagai berikut: (i) memperjelas penyajian pesan agar tidak
terlalu bersifat visual; (ii) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan
daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat
diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu
bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; (iii)
meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri
berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan
(iv) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan
persepsi siswa terhadap isi pelajaran.
Fungsi media, khususnya media visual juga dikemukakan oleh Levie dan
Lentz, seperti yang dikutip oleh Arsyad (2002) bahwa media tersebut
memiliki empat fungsi yaitu: fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi
kognitif, dan fungsi kompensatoris. Dalam fungsi atensi, media visual
dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi
kepada isi pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati
dari tingkat “kenikmatan” siswa ketika belajar (membaca) teks bergambar.
Dalam hal ini gambar atau simbul visual dapat menggugah emosi dan sikap
siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian diungkapkan bahwa fungsi
kognitif media visual melalui gambar atau lambang visual dapat
mempercepat pencapaian tujuan pembelajaran untuk memahami dan mengingat
pesan/informasi yang terkandung dalam gambar atau lambang visual
tersebut. Fungsi kompensatoris media pembelajaran adalah memberikan
konteks kepada siswa yang kemampuannya lemah dalam mengorganisasikan dan
mengingat kembali informasi dalam teks. Dengan kata lain bahwa media
pembelajaran ini berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan
lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dalam
bentuk teks (disampaikan secara verbal).
Dengan menggunakan istilah media pengajaran, Sudjana dan Rivai (1992)
mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar siswa, yaitu:
(i) dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pengajaran akan
lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi
lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya
penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar
akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi
verbal melalui kata-kata; dan (iv) siswa lebih banyak melakukan
aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga
mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.
Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan
belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera.
Terhadap pemahaman isi pelajaran, secara nalar dapat dikemukakan bahwa
dengan penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman yang
lebih baik pada siswa. Pebelajar yang belajar lewat
mendengarkan saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pebelajar yang belajar lewat
melihat
atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu
membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan
gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini
berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran
yang lebih hidup, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman
pebelajar terhadap materi ajar.
KLASIFIKASI MEDIA PEMBELAJARAN
Media pembelajaran merupakan komponen instruksional
yang meliputi pesan, orang, dan peralatan. Dengan masuknya berbagai
pengaruh ke dalam dunia pendidikan (misalnya teori/konsep baru dan
teknologi), media pendidikan (pembelajaran) terus mengalami perkembangan
dan tampil dalam berbagai jenis dan format, dengan masing-masing ciri
dan kemampuannya sendiri. Dari sinilah kemudian timbul usaha-usaha untuk
melakukan klasifikasi atau pengelompokan media, yang mengarah kepada
pembuatan taksonomi media pendidikan/pembelajaran.
Usaha-usaha ke arah taksonomi media tersebut telah dilakukan oleh
beberapa ahli. Rudy Bretz, mengklasifikasikan media berdasarkan unsur
pokoknya yaitu suara, visual (berupa gambar, garis, dan simbol), dan
gerak. Di samping itu juga, Bretz membedakan antara media siar
(telecommunication) dan media rekam
(recording).
Dengan demikian, media menurut taksonomi Bretz dikelompokkan menjasi 8
kategori: 1) media audio visual gerak, 2) media audio visual diam, 3)
media audio semi gerak, 4) media visual gerak, 5) media visual diam, 6)
media semi gerak, 7) media audio, dan 8) media cetak.
Pengelompokan menurut tingkat kerumitan perangkat media, khususnya media
audio-visual, dilakukan oleh C.J Duncan, dengan menyususn suatu
hirarki. Dari hirarki yang digambarkan oleh Duncan dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat hirarki suatu media, semakin
rendah satuan biayanya dan semakin khusus sifat penggunaannya. Namun
demikian, kemudahan dan keluwesan penggunaannya semakin bertambah.
Begitu juga sebaliknya, jika suatu media berada pada hirarki paling
rendah. Schramm (dalam Sadiman, dkk., 1986) juga melakukan pegelompokan
media berdasarkan tingkat kerumitan dan besarnya biaya. Dalam hal ini,
menurut Schramm ada dua kelompok media yaitu
big media (rumit dan mahal) dan
little media
(sederhana dan murah). Lebih jauh lagi ahli ini menyebutkan ada media
massal, media kelompok, dan media individu, yang didasarkan atas daya
liput media.
Beberapa ahli yang lain seperti Gagne, Briggs, Edling, dan Allen,
membuat taksonomi media dengan pertimbangan yang lebih berfokus pada
proses dan interaksi dalam belajar, ketimbang sifat medianya sendiri.
Gagne misalnya, mengelompokkan media berdasarkan tingkatan hirarki
belajar yang dikembangkannya. Menurutnya, ada 7 macam kelompok media
seperti: benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak,
gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin belajar. Briggs
mengklasifikasikan media menjadi 13 jenis berdasarkan kesesuaian
rangsangan yang ditimbulkan media dengan karakteristik siswa. Ketiga
belas jenis media tersebut adalah: objek/benda nyata, model, suara
langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan
tulis, media transparansi, film bingkai, film (16 mm), film rangkai,
televisi, dan gambar (grafis).
Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka media pembelajaran pun
mengalami perkembangan melalui pemanfaatan teknologi itu sendiri.
Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, Arsyad (2002)
mengklasifikasikan media atas empat kelompok: 1) media hasil teknologi
cetak, 2) media hasil teknologi audio-visual, 3) media hasil teknologi
berbasis komputer, dan 4) media hasil gabungan teknologi cetak dan
komputer. Seels dan Glasgow (dalam Arsyad, 2002) membagi media ke dalam
dua kelompok besar, yaitu: media tradisional dan media teknologi
mutakhir. Pilihan media tradisional berupa media visual diam tak
diproyeksikan dan yang diproyeksikan, audio, penyajian multimedia,
visual dinamis yang diproyeksikan, media cetak, permainan, dan media
realia. Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir berupa media berbasis
telekomunikasi (misal teleconference) dan media berbasis mikroprosesor
(misal: permainan komputer dan hypermedia).
Dari beberapa pengelompokkan media yang dikemukakan di atas, tampaknya
bahwa hingga saat ini belum terdapat suatu kesepakatan tentang
klasifikasi (sistem taksonomi) media yang baku. Dengan kata lain, belum
ada taksonomi media yang berlaku umum dan mencakup segala aspeknya,
terutama untuk suatu sistem instruksional (pembelajaran). Atau memang
tidak akan pernah ada suatu sistem klasifikasi atau pengelompokan yang
sahih dan berlaku umum. Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun cara
yang ditempuh dalam mengklasifikasikan media, semuanya itu memberikan
informasi tentang spesifikasi media yang sangat perlu kita ketahui.
Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat memperjelas
perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya, sehingga bisa
dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu
pembelajaran tertentu.
KARAKTERISTIK BEBERAPA JENIS MEDIA PEMBELAJARAN
Setiap media pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, yang
dikaitkan atau dilihat dari berbagai segi. Misalnya, Schramm melihat
karakteristik media dari segi ekonomisnya, lingkup sasaran yang dapat
diliput, dan kemudahan kontrolnya oleh pemakai (Sadiman, dkk., 1990).
Karakteristik media juga dapat dilihat menurut kemampuannya
membangkitkan rangsangan seluruh alat indera. Dalam hal ini, pengetahuan
mengenai karakteristik media pembelajaran sangat penting artinya untuk
pengelompokan dan pemilihan media. Kemp, 1975, (dalam Sadiman, dkk.,
1990) juga mengemukakan bahwa karakteristik media merupakan dasar
pemilihan media yang disesuaikan dengan situasi belajar tertentu.
Gerlach dan Ely mengemukakan tiga karakteristik media berdasarkan
petunjuk penggunaan media pembelajaran untuk mengantisipasi kondisi
pembelajaran di mana guru tidak mampu atau kurang efektif dapat
melakukannya. Ketiga karakteristik atau ciri media pembelajaran tersebut
(Arsyad, 2002) adalah: a)
ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b)
ciri manipulatif,
yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau
proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu. Sebagai contoh, misalnya
proses larva menjadi kepompong dan kemudian menjadi kupu-kupu dapat
disajikan dengan waktu yang lebih singkat (atau dipercepat dengan teknik
time-lapse recording). Atau sebaliknya, suatu
kejadian/peristiwa dapat diperlambat penayangannya agar diperoleh
urut-urutan yang jelas dari kejadian/peristiwa tersebut; c)
ciri distributif,
yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau
kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan
kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus
pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.
Berdasarkan uraian sebelumnya, ternyata bahwa karakteristik media,
klasifikasi media, dan pemilihan media merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dalam penentuan strategi pembelajaran. Banyak ahli,
seperti Bretz, Duncan, Briggs, Gagne, Edling, Schramm, dan Kemp, telah
melakukan pengelompokan atau membuat taksonomi mengenai media
pembelajaran. Dari sekian pengelompokan tersebut, secara garis besar
media pembelajaran dapat diklasifikasikan atas: media grafis, media
audio, media proyeksi diam (hanya menonjolkan visual saja dan disertai
rekaman audio), dan media permainan-simulasi. Arsyad (2002)
mengklasifikasikan media pembelajaran menjadi empat kelompok berdasarkan
teknologi, yaitu: media hasil teknologi cetak, media hasil teknologi
audio-visual, media hasil teknologi berdasarkan komputer, dan media
hasil gabungan teknologi cetak dan komputer. Masing-masing kelompok
media tersebut memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu dengan
yang lainnya. Karakteristik dari masing-masing kelompok media tersebut
akan dibahas dalam uraian selanjutnya.
Media grafis. Pada prinsipnya semua jenis
media dalam kelompok ini merupakan penyampaian pesan lewat simbul-simbul
visual dan melibatkan rangsangan indera penglihatan. Karakteristik yang
dimiliki adalah: bersifat kongkret, dapat mengatasi batasan ruang dan
waktu, dapat memperjelas suatu masalah dalam bidang masalah apa saja dan
pada tingkat usia berapa saja, murah harganya dan mudah mendapatkan
serta menggunakannya, terkadang memiliki ciri abstrak (pada jenis media
diagram), merupakan ringkasan visual suatu proses, terkadang menggunakan
simbul-simbul verbal (pada jenis media grafik), dan mengandung pesan
yang bersifat interpretatif.
Media audio. Hakekat dari jenis-jenis media
dalam kelompok ini adalah berupa pesan yang disampaikan atau dituangkan
kedalam simbul-simbul auditif (verbal dan/atau non-verbal), yang
melibatkan rangsangan indera pendengaran. Secara umum media audio
memiliki karakteristik atau ciri sebagai berikut: mampu mengatasi
keterbatasan ruang dan waktu (mudah dipindahkan dan jangkauannya luas),
pesan/program dapat direkam dan diputar kembali sesukanya, dapat
mengembangkan daya imajinasi dan merangsang partisipasi aktif
pendengarnya, dapat mengatasi masalah kekurangan guru, sifat
komunikasinya hanya satu arah, sangat sesuai untuk pengajaran musik dan
bahasa, dan pesan/informasi atau program terikat dengan jadwal siaran
(pada jenis media radio).
Media proyeksi diam. Beberapa jenis media yang
termasuk kelompok ini memerlukan alat bantu (misal proyektor) dalam
penyajiannya. Ada kalanya media ini hanya disajikan dengan penampilan
visual saja, atau disertai rekaman audio. Karakteristik umum media ini
adalah: pesan yang sama dapat disebarkan ke seluruh siswa secara
serentak, penyajiannya berada dalam kontrol guru, cara penyimpanannya
mudah (praktis), dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera,
menyajikan obyek -obyek secara diam (pada media dengan penampilan visual
saja), terkadang dalam penyajiannya memerlukan ruangan gelap, lebih
mahal dari kelompok media grafis, sesuai untuk mengajarkan keterampilan
tertentu, sesuai untuk belajar secara berkelompok atau individual,
praktis dipergunakan untuk semua ukuran ruangan kelas, mampu menyajikan
teori dan praktek secara terpadu, menggunakan teknik-teknik warna,
animasi, gerak lambat untuk menampilkan obyek/kejadian tertentu
(terutama pada jenis media film), dan media film lebih realistik, dapat
diulang-ulang, dihentikan, dsb., sesuai dengan kebutuhan.
Media permainan dan simulasi. Ada beberapa
istilah lain untuk kelompok media pembelajaran ini, misalnya simulasi
dan permainan peran, atau permainan simulasi. Meskipun berbeda-beda,
semuanya dapat dikelompkkan ke dalam satu istilah yaitu permainan
(Sadiman, 1990). Ciri atau karakteristik dari media ini adalah:
melibatkan pebelajar secara aktif dalam proses belajar, peran pengajar
tidak begitu kelihatan tetapi yang menonjol adalah aktivitas interaksi
antar pebelajar, dapat memberikan umpan balik langsung, memungkinkan
penerapan konsep-konsep atau peran-peran ke dalam situasi nyata di
masyarakat, memiliki sifat luwes karena dapat dipakai untuk berbagai
tujuan pembelajaran dengan mengubah alat dan persoalannya sedikit saja,
mampu meningkatkan kemampuan komunikatif pebelajar, mampu mengatasi
keterbatasan pebelajar yang sulit belajar dengan metode tradisional, dan
dalam penyajiannya mudah dibuat serta diperbanyak.
KESIMPULAN
Ada beberapa batasan atau pengertian tentang media pembelajaran yang
disampaikan oleh para ahli. Dari batasan-batasan tersebut, dapat
dirangkum bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut
software dan
hardware yang dapat digunakan untuk
meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar (individu
atau kelompok), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan
minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar (di dalam/di
luar kelas) menjadi lebih efektif.
Dalam awal perkembangannya, media memiliki posisi sebagai alat bantu
dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru
(teaching aids).
Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan
pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan
retensi belajar siswa. Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang,
misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media
pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan
semata-mata sebagai alat bantu. Media adalah bagian integral dari proses
belajar mengajar. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media
pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh
media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru
melakukannya kurang efisien). Dengan kata lain, bahwa posisi guru
sebagai fasilitator dan media memiliki posisi sebagai sumber belajar
yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.
Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan
oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan
belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera.
Penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman dan retensi
yang lebih baik terhadap isi pelajaran. Media pembelajaran juga mampu
membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan
gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini
berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran
yang lebih “hidup”, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman
pebelajar terhadap materi ajar. Jadi, sasaran akhir penggunaan media
adalah untuk memudahkan belajar, bukan kemudahan mengajar (Degeng,
2001).
Usaha-usaha ke arah pembuatan sistem taksonomi media pembelajaran telah
dilakukan oleh para ahli dengan dasar pertimbangannya masing-masing.
Duncan dan Scrhamm mengelompokkan media berdasarkan kerumitan dan
biayaya. Sedangkan Gagne, Briggs, Edling, dan Allen, membuat taksonomi
media dengan pertimbangan yang lebih berfokus pada proses dan interaksi
dalam belajar, ketimbang sifat medianya sendiri. Rudy Bretz,
mengklasifikasikan media berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual,
dan gerak. Klasifikasi berdasarkan pemanfaatan dan perkembangan
teknologi dilakukan oleh Arsyad dan Seels & Glasgow. Walaupun
demikian, belum ada taksonomi media yang baku, berlaku umum dan mencakup
segala aspeknya, terutama untuk suatu sistem instruksional
(pembelajaran). Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat
memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya,
sehingga bisa dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk
suatu pembelajaran tertentu.
Setiap jenis media memiliki karakteristiknya yang khas, yang dikaitkan
atau dilihat dari berbagai segi (misalnya dari segi ekonomisnya, lingkup
sasaran yang dapat diliput, dan kemudahan kontrolnya oleh pemakai,
menurut kemampuannya membangkitkan rangsangan seluruh alat indera, dan
petunjuk penggunaannya untuk mengatasi kondisi pembelajaran). Secara
umum media pembelajaran memiliki tiga karakteristik atau ciri yaitu: a)
ciri fiksatif, yang menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau obyek; b)
ciri manipulatif, yaitu kamampuan media untuk mentransformasi suatu obyek, kejadian atau proses dalam mengatasi masalah ruang dan waktu.; c)
ciri distributif,
yang menggambarkan kemampuan media mentransportasikan obyek atau
kejadian melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian itu disajikan
kepada sejumlah besar siswa, di berbagai tempat, dengan stimulus
pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian tersebut.
Artikel ini milik dan karya: I Wayan Sukra Warpala
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, R. H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media Untuk Pembelajaran, Alih bahasa oleh: Yusufhadi Miarso, dkk., edisi 1. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.
Arsyad, A. 2002.
Media Pembelajaran, edisi 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bruner, J. S. 1966. Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvad University.
Criticos, C. 1996. Media selection. Plomp, T & Ely, D.P (Eds): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd ed. UK: Cambridge University Press. pp. 182 - 185.
Degeng, N. S. 2001. Media Pembelajaran. Dalam kumpulan makalah PEKERTI (Pengembangan Keterampilan Instruntur) untuk Quatum Teaching. Karya tidak diterbitkan.
Gagne, R. M. 1985. The Condition of Learning and Theory of Instruction, 4th ed. New York: CBS College Publishing.
Gagne, R.M., Briggs, L.J & Wager, W.W. 1988. Principles of Instruction Design, 3rd ed. New York: Saunders College Publishing.
Hamalik, O. 1994. Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J.D. 1993. Instructional Media and the New Technologies of Instruction, 4th ed. New York: Macmillan Publishing Company.
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito. 1990. Media Pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, edisi 1. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.
Sudjana, N. & Rivai, A. 1992. Media Pengajaran. Bandung: Penerbit CV. Sinar Baru Badung.